Tentang Menggantungkan Cita-Cita

Tentang Menggantungkan Cita-Cita
11 Juli 2020 14:01 WIB

Beberapa hari lalu, saya terpapar ribut-ribut kecil perkara tulisan Najwa Shihab tentang cita-cita. Inti dari tulisan itu adalah ajakan untuk generasi millenial untuk melupakan cita-cita jadi pegawai negeri, BUMN, atau perusahaan multinasional, dan menjulukinya cita-cita jaman ayah-ibu, om-tante, dan kakak-kakak.  Dalam tulisannya Najwa jelas-jelas menempatkan hidup dengan rutinitas kerja 9-5, jadi karyawan, hidup dari 1 gajian ke gajian lain kurang mulia dan tidak terlalu menginspirasi, juga tidak merdeka. Dan jagad twitter meradang, khususnya mereka yang berprofesi “terlarang” di atas, “Kalau semua jadi enterpreneur, terus siapa yang jadi karyawan BUMN?” Beberapa bahkan mempertanyakan, “Kok sekelas Najwa nulis kaya gini sih?” 

Salahkan Najwa?

Tidak sepenuhnya menurut saya. Karena cita-cita semestinya berkembang menurut jaman. Dan setiap jaman membutuhkan profesi-profesi baru yang tidak terbayangkan, yang memenuhi kebutuhan, atau yang menciptakan kebutuhan. Tapi sayangnya banyak orang tua yang masih membentuk anak-anaknya dengan cetakan jamannya, dan mengernyit melihat profesi-profesi alternatif seperti pekerja kreatif, sineas, chef, bartender, game developer, atau periset Artificial Intelegence. Bahkan di tahun 2020 ini, masih ada teman yang menyiapkan dana sogokan demi anak-anaknya bisa jadi PNS atau anggota polisi, karena dipandang lebih sentausa hidupnya. Sejalan dengan itu, masih banyak juga memaksa anak masuk jurusan tertentu untuk mewarisi profesinya, karena sudah pasti ada “jatah” sukses, dan ada koneksi untuk memuluskan jalan. Heran saya, kok atas nama masa depan, orang tua menggali lubang-lubang jebakan sendiri untuk anak-anak mereka, dengan membiasakan jalan pintas, menggadaikan integritas, me-raja-kan tujuan, bukan perjalanan.  Anak-anak seharusnya diberi porsi untuk merdeka memilih jalan, dan mempertanggungjawabkan pilihan, jangan melulu disuapi dan diceboki.

Tentang cita-cita, yang paling penting menurut saya bukan jadi apa-nya, tapi kenapa-nya. Meluruskan niat, memastikan diri membawa manfaat dan kebaikan untuk orang lain dari profesi yang dipilih. Ya, tentunya yang tua yang harus lebih dulu mengunduh pola pikir baru dan iktikad, memastikan diri ikhlas untuk mendukung dan menghargai kemerdekaan pilihan anak. Semoga!

Feature Image by Free-Photos from Pixabay 

Tentang Menggantungkan Cita-Cita







Gabung Milis

Daftarkan diri Anda dan dapatkan update terbaru dari WomanBlitz